Penulis: Dr. Ir. Husnullah Pangeran
Peran: Ketua Pengurus Wilayah Persatuan Insinyur Indonesia Provinsi Maluku Utara
Waktu baca ± 5 menit
Visi bukan sekadar rangkaian kata indah dalam dokumen perencanaan. Ia adalah nyawa dari arah pembangunan, kompas yang menuntun setiap kebijakan agar tidak tersesat di lorong-lorong administrasi. Provinsi Maluku Utara melalui Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2024, telah menetapkan visi RPJPD 2025-2045 “Marimoi, Maju, Berdaya Saing dan Berkelanjutan.” Sebuah visi yang menggabungkan kearifan lokal dengan cita-cita global, menyuarakan semangat persatuan sekaligus keberanian untuk berdiri sejajar dengan daerah-daerah lain di Indonesia.
Namun, sebagaimana simfoni agung yang indah dalam partitur, pertanyaannya: apakah ia akan benar-benar dimainkan dengan harmonis? Atau justru menjadi simfoni gagap, penuh jeda, kehilangan irama, dan tak bernada?
Marimoi: Antara Slogan dan Realita
Kata Marimoi memiliki akar yang dalam. Ia bukan sekadar slogan. Dalam budaya Maluku Utara, Marimoi berarti bersatu. Sejak lama, semboyan Marimoi Ngone Futuru menjadi mantra sosial yang menahan robekan perbedaan suku, agama, dan wilayah. Ia adalah penanda bahwa Maluku Utara berdiri bukan karena keseragaman, tetapi karena keberanian untuk bersatu dalam keberagaman.
Di dalam visi RPJPD 2025–2045, Marimoi bukan hanya nilai kultural. Ia dipadankan sebagai akronim: Marine, Agriculture, Mining, and Tourism based Industrialization. Perpaduan yang ambisius—memasukkan identitas lokal, sumber daya alam, dan arah industrialisasi global dalam satu narasi tunggal. Ini bukan sekadar permainan kata. Ini adalah klaim besar bahwa Maluku Utara siap menjadi simpul utama ekonomi biru Indonesia Timur, menjawab tantangan RPJP Nasional 2025-2045 yang ingin menjadikan Maluku-Maluku Utara sebagai “Hub Kemaritiman di Wilayah Timur Indonesia”. Pada titik ini, harus disadari bahwa ada jurang yang tidak bisa diseberangi hanya dengan dokumen, pidato dan shortvideo tiktok!
Rencana Besar, Langkah Kecil
RPJPD Maluku Utara 2025-2045 tersusun rapi (di tengah berbagai keterbatasan data/informasi faktual). Periode 2025–2029 disebut sebagai fase “penguatan fondasi transformasi”, dilanjutkan percepatan, pemantapan/ekspansi, dan perwujudan pada dekade-dekade berikutnya. Lima sasaran utama telah ditetapkan: peningkatan pendapatan per kapita, pengentasan kemiskinan, peningkatan daya saing daerah dan SDM, serta kualitas lingkungan hidup.
Indikatornya pun ambisius. Misalnya, PDRB per kapita ditargetkan naik dari Rp87 juta menjadi lebih dari Rp1,7 miliar dalam dua dekade ke depan. Tingkat kemiskinan ditekan menuju 0,03 persen. Indeks Ekonomi Biru, Indeks Daya Saing, bahkan penurunan emisi GRK—semua dirinci.
Tetapi pertanyaannya sederhana: apakah langkah-langkah hari ini sudah sejalan dengan tujuan-tujuan itu?
Kita harus bisa sama-sama melihat proses perencanaan yang melibatkan publik apakah menjadi semakin bermakna?. Apakah data yang digunakan tidak lagi berasal dari dokumen yang sama bertahun-tahun (out-of-date). Apakah proyeksi kependudukan yang seharusnya menjadi dasar penganggaran dan infrastruktur, masih akan terus ditentukan secara asumtif?. Apakah perencanaan spasial masih berjalan sendiri-sendiri, terputus dari perencanaan lintas sektoral?. Di tingkat kabupaten/kota, RPJMD sering kali tidak terhubung dengan arah besar provinsi. Bahkan dalam satu kabupaten pun, antar-OPD bisa saling bertabrakan.
Transformasi: Semoga Tidak Terjebak Seremoni
Simfoni memang ditulis. Tapi apakah para pemain membacanya? Apakah ada konduktor yang mampu memastikan tiap nada dimainkan dengan akurat?
Gubernur Maluku Utara periode 2025–2029 telah menetapkan sejumlah prioritas pembangunan: transformasi sosial, ekonomi, tata kelola, ketahanan budaya dan ekologi, serta stabilitas. Ini sesuai dengan arah nasional, dan tampak menjanjikan (Catatan: ada banyak versi bertebaran di media, dalam bentuk kegiatan-kegiatan prioritas, jadi kita perlu bersabar untuk menunggu narasi finalnya dalam RPJMD Maluku Utara 2025-2029).
Namun perlu kita akui, sebagian besar transformasi yang kita saksikan hari ini masih lebih banyak bersifat simbolik daripada struktural. Banyak kegiatan pembangunan yang terjebak pada seremoni—peresmian, penandatanganan, workshop—tanpa kejelasan keberlanjutan dan dampak nyata. Rencana besar tentang ekonomi biru belum dibarengi dengan tata kelola sumber daya pesisir yang kuat. Industrialisasi nikel dibiarkan bergerak tanpa keseimbangan dengan nilai tambah lokal. Infrastruktur konektivitas, terutama antar-pulau, masih pincang. Ketimpangan antar wilayah bahkan tampak semakin lebar.
Data Bukan Sekedar Pelengkap
Tanpa orkestrasi yang utuh, simfoni perencanaan akan tetap gagap!. Masalah mendasar dari banyak kegagalan pembangunan bukan terletak pada ketidaktahuan, tetapi pada keengganan untuk melihat kenyataan. Kita sudah terlalu sering menyusun rencana dengan data yang sangat minim, menggunakan data yang tidak akurat (sering berubah meskipun sumbernya masih sama-OPD), asumsi yang tidak teruji, dan indikator yang hanya berhenti sebagai formalitas.
Contoh paling nyata adalah bagaimana data kemiskinan, pengangguran, dan kualitas pendidikan sering disajikan hanya sebagai angka, bukan sebagai narasi kehidupan masyarakat. Ketika secara hipotetis ada belasan ribu anak usia 16-18 tahun yang tidak melanjutkan sekolah ke tingkat SMA, atau ketika listrik hanya menyala enam jam sehari, itu bukan sekadar “indikator pembangunan”. Itu adalah suara dari nada-nada yang hilang dalam simfoni perencanaan kita.
Marimoi Bersimfoni!
Tulisan ini bukan ditujukan untuk mencemooh. Justru sebaliknya, ini adalah ajakan untuk menyempurnakan simfoni yang sudah ditulis. Maluku Utara memiliki semua modal dasar: kekayaan alam, posisi strategis, nilai budaya yang kuat, dan sejarah panjang yang bisa menjadi pijakan masa depan.
Hemat penulis, yang dibutuhkan adalah keberanian untuk memastikan perencanaan bukan hanya agenda birokrasi tahunan, melainkan kesepakatan sosial yang dijalankan bersama. RPJPD 20 tahunan, yang akan diturunkan dalam RPJMD 5 tahunan, bukan milik Bappeda semata. Ia adalah kompas seluruh elemen pembangunan – dari DPRD, OPD teknis, tokoh masyarakat, kampus, hingga generasi muda.
Perlu perubahan cara pandang, bahwa keberhasilan bukan hanya tercermin dalam dokumen perencanaan-pengendalian dan evaluasi, tetapi dalam perubahan nyata di kehidupan masyarakat. Bahwa indikator bukan hanya angka, tetapi wajah-wajah yang lebih ceria, akses yang lebih merata, dan alam yang lebih lestari.
Maluku Utara telah memiliki partitur simfoni pembangunan. Marimoi adalah nada dasar yang menyatukan. Industrialisasi berbasis kelautan, pertanian, pertambangan, dan pariwisata adalah orkestrasi besarnya. Tapi simfoni ini hanya akan terdengar merdu jika dimainkan bersama, dengan rasa tanggung jawab, koordinasi, dan cinta pada tanah sendiri.
Jangan sampai ketika 2045 tiba, yang kita dengar bukan harmoni kemenangan, tetapi gema dari simfoni yang tak kunjung menemukan nadanya!